ORDE BARU DAN PERISTIWA REFORMASI
Sunday, June 9, 2013
ORDE BARU DAN PERISTIWA REFORMASI
Peristiwa
G 30 S membawa bencana pada pemerintahan Orde Lama, sebab ketidak tegasan
pemerintah terhadap para pemberontak membawa dampak negatif pada pemerintah.
Ketidak puasan rakyat makin meningkat karena ekonomi makin terpuruk, keamanan
rakyat juga tidak terjamin.
Akibatnya
dengan dipelopori oleh mahasiswa terjadi berbagai demonstrasi. Untuk lebih
mengkoordinasi demonstrasinya para mahasiswa membentuk KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia), sedangkan para pelajar membentuk KAPPI (Kersatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia ). Pada 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI menggelar
demonstrasi di depan gedung DPR-GR, dengan tuntutan (TRITURA) :
1.Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya.
2. Bersihkan kabinet Dwi Kora dari unsur-unsur PKI.
3. Turunkan harga barang.
Ternyata
pemerintah tidak menuruti tuntutan para demonstran, sebab pemerintah tidak
membubarkan kabinet tetapi hanya mereshufleKabinet Dwi Kora menjadi Kabinet
Dwi Kora Yang Disempurnakan atau yang lebih dikenal sebagai kabinet
seratus menteri. Pembentukan kabinet ini membuat rakyat semakin tidak puas
sebab masih banyak tokoh yang diduga terlibat peristiwa G 30 S masih dilibatkan
dalam kabinet seratus menteri.
Untuk
menggagalkan pelantikan kabinet, pada 24 Februari 1966 para mahasiswa memblokir
jalan yang akan dilalui para menteri. Karena tindakan mahasiswa itu terjadi
bentrokan dengan fihak keamanan, akibatnya seorang mahasiswa yang bernama ARIEF
RAHMAN HAKIM gugur terkena tembakan pasukan keamanan. Sehari setelah insiden
itu, pada 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan.
Pembubaran
KAMI tidak menyurutkan tekat para mahasiswa, bahkan mahasiswa membentuk LASKAR
ARIEF RAHMAN HAKIM yang bersama dengan kesatuan aksi lainnya pada 8 – 9 Maret
1966 menggelar aksi besar-besaran di depan kantor Waperdam I / MENLU,
Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dan Kedutaan Besar CINA, sebab
ketiga tempat itu dianggap sebagai sumber dukungan yang utama terhadap PKI.
Untuk
mengatasi krisis politik yang tak kunjung reda, pada 10 Maret 1966 Presiden
Soekarno mengadakan pertemuan dengan para utusan partai politik. Dalam
pertemuan itu presiden meminta agar partai politik turut mengecam tindakan para
demonstran, tetapi ditolak oleh para utusan partai yang tergabung dalam FRONT
PANCASILA, sebab partai politik yang tergabung dalam front itu juga menuntut
pembubaran PKI.
Dalam
menyikapi keadaan negara yang semakin gawat, pada 11 Maret 1966 di Istana
Negara diadakan sidang Pleno Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan. Para menteri
yang akan menghadiri sidang ini mengalami kesulitan karena mereka dihadang oleh
para demonstran. Untuk menjaga keamanan sidang maka prajurit RPKAD ditugaskan
menjaga istana negara secara kamuflase, tetapi
oleh Ajudan Presiden yaitu Brigjend Sabur pasukan itu dianggap akan menyerbu
istana negara.
Akibatnya
bersama dengan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio dan Waperdam III
Chairul Saleh, presiden mengungsi ke Istana Bogor. Setelah pimpinan sidang
diserahkan kepada Waperdam II Dr. J. Leimena.
Karena
situasi negara yang semakin gawat dan kewibawaan pemerintah yang
semakin merosot, dan didorong oleh rasa tanggung jawab yang tinggi untuk
memulihkan situasi negara maka tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu
Mayjend Basuki Rahmat, Brigjen M.Yusuf, dan Brigjen Amir
Mahmud berinisiatif menemui presiden di Istana Bogor setelah sebelumnya meminta
ijin kepada Letjen Soeharto. Pertemuan itu menghasilkan suatu konsep surat
perintah kepada MEN / PANGAD LETJEN SOEHARTO, untuk atas nama
presiden mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan
keamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat itulah yang pada akhirnya dikenal
sebagai SUPER SEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret).
Berdasar
surat perintah itu, Letjen Soeharto mengambil beberapa langkah,
yaitu:
1. Terhitung mulai tanggal 12 Maret 1966, PKI dan ormas-ormasnya
dibubarkan dan di
nyatakan sebagi partai terlarang. Dan
diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX / MPRS / 1966 yang intinya
melarang penyebaran ajaran komunis dan sejenisnya di Indonesia.
2. Mengamankan 15 orang menteri Kabinet Dwi Kora Yang
Disempurnakan
yang diduga terlibat
dalam peristiwa G 30 S / PKI.
3. Membersihkan MPRS dan lembaga negara yang
lain dari unsur-unsur G
30 S / PKI dan menempatkan peranan
lembaga-lembaga itu sesuai dengan UUD 1945
Dengan mengacu pada
Ketetapan MPRS No. XIII /MPRS/1966, Presiden Soekarno membubarkan
Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan kemudian menyerahkan wewenang kepada
Letjen Soeharto untuk membentuk kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat).
Tugas pokok kabinet Ampera tertuang dalam Dwidarma Kabinet Ampera, yang intinya
mewujudkan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Ternyata Kabinet Ampera
belumdapat menjalankan fungsinya dengan baik karena terganjal persoalan
“DUALISME KEPEMIMPINAN NASIONAL”, yaitu Presiden Soekarno selaku pemimpin negara
/ pemerintahan dan Letjen Soeharto selaku pelaksana pemerintahan.
Konflik itu berakhir
setelah timbul tekanan dan desakan agar presiden Soekarno segera mengundurkan
diri dari jabatannya. Oleh karena itu MPRS mengeluarkan Ketetapan No.
XXXIII/MPRS/ 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari
Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden
hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilu. Akhirnya pada sidang umum
MPRS V tanggal 21 – 30 Maret 1967 Jendral Soeharto diangkat sebagai Presiden RI
untuk masa jabatan 1968 – 1973.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment