Saturday, January 23, 2016

BAB VII - Perspektif Etika Bisnis dalam Ajaran Islam dan Barat, Etika Profesi

1.      Beberapa aspek etika bisnis islami
Bisnis dalam Islam memiliki etika atau aturan yang harus sesuai dengan hukum dan ajaranagama Islam. Etika bisnis dalam Islam mengharuskan seorang pebisnis harus selalu dipegang teguh sehingga tidak membelok ke jalan yang tidak diridhoi oleh agama Islam.
Pengertian etika bisnis dalam Islam secara singkatmerupakan cara yang digunakan untuk melakukan bisnis secara Islami. Sedangkan pengertian etika bisnis dalam Islam secara detail adalah cara-cara yang digunakan untuk melakukan bisnis yang termasuk didalamnya seluruh aspek yang berkaitan dengan perusahaan, individu, industri serta masyarakat  yang berpatok pada hukum-hukum Islam. Intinya,segala hal yang dilakukan oleh seorang pebisnis haruslah tetap berpegang teguh pada hukum-hukum Islam.
1.Kesatuan ( Tauhid )
Etika bisnis dalam Islam yang satu ini adalah bagaimana memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial sampai dengan politik sehingga mampu menjadi satu kesatuan yang homogen.

2.Keseimbangan
Maksud dari etika bisnis dalam Islam yang ini adalah anjuran untuk berbuat adil dalam bisnis. Jadi, bagi yang berbuat curang maka kecurangan itu sendiri adalah jurang kehancuran bagi bisnisnya.

3.Bebasnya Kehendak
Kebebasan menjadi sangat penting dalam etika bisnis dalam Islam. Ini akan membantu orang dalam berkarya sebebas-bebasnya dan sekreatif mungkin hingga mampu menghasilkan inovasi baru.

4.Tanggung Jawab
Dalam etika bisnis Islam, tanggung jawab adalah hal yang sangat penting. Meskipun manusia memiliki kebebasan tanpa batas namun tanggung jawab sangat   diperlukan guna mempertanggung jawabkan setiap tindakan yang dilakukan.

5.Kebenaran ( Kebijakan dan Kejujuran )
Etika bisnis dalam Islam mengedepankan yang namanya kebenaran. Dalam hal ini maksudnya adalah niat, perilaku dan juga sikap apakah memiliki kebenaran niat yang sesungguhnya sesuai dengan akadnya atau tidak.

Teori ethical egoism
Ethical egoism menegaskan bahwa kita tidak harus mengabaikan secara mutlak kepentingan orang lain tetapi kita patut mempertimbangkannya apabila tindakan itu secara langsung akan membawa kebaikan kepada diri sendiri. Ethical egoism adalah berbeda dengan prinsip-prinsip moral seperti senantiasa bersikap jujur, amanah dan bercakap benar. Ia karena tindakan tersebut didorong oleh nilai-nilai yang sedia ada dalam diri manakala dalam konteks ethical egoism pula sesuatu tindakan adalah didorong oleh kepentingan pribadi. Misalnya seseorang individu yang memohon pinjaman akan memaklumkan kepada pegawai bank tentang kesilapan pihak bank bukan atas dasar tanggung jawab tetapi karena beliau mempunyai kepentingan diri.

Kategori etikal:
·         Individual
Melakukan perkara faedah untuk kepentingan diri.
·         Personal
Tindakan yang perlu dilakukan untuk kepentingan seseorang.
·         Universal
Semua orang perlu bertindak pada jalan berfaedah untuk diri sendiri.

3.    Teori relativisme

Istilah “relativisme” diambilkan dari bahasa Latin, relativus, yang artinya “menunjuk ke.” Setiap pengetahuan, menurut paham relativisme, selalu memiliki rujukan, referensi. Dengan demikian, setiap pengetahuan memiliki logika dan ranah kebenarannya sendiri bergantung kepada rujukannya.

Relativisme meniadakan kebenaran universal. Jika tidak ada pengetahuan yang salah, karena setiap pengetahuan memiliki rujukannya sendiri, maka juga tidak ada pengetahuan yang benar secara universal. Jika tidak ada pengetahuan yang benar secara universal, tidak perlu ada pendidikan, tidak perlu ada sekolah, tidak perlu ada seminar, tidak perlu ada pembelajaran, tidak perlu ada diskusi hukum-hukum, tidak perlu ada komunikasi (malahan). Sebab, semuanya benar belaka. Inilah konsekuensi paling telak dari relativisme protagorasian.

4.      Konsep deontology

Berasal dari bahasa yunani Deon yang berarti kewajiban/ Sesuatu yang harus.  Etika deontology ini lebih menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak secara baik menurut teori ini tindakan baik bukan berarti harus mndatangkan kebaikan namun berdasarkan baik pada dirinya sendiri jikalau kita bisa katakana ini adalah mutlak harus dikerjakan tanpa melihat berbagai sudut pandang.  Konsep ini menyiratkan adanya perbedaan kewajiban yang hadir bersamaan. Artinya ada sebuah persoalan yang kadang baik dilihat dari satu sisi, namun juga terlihat buruk dari sudut pandang lain. Menurut David MCnaughton, kebaikan dan keburukan tidak bisa dilihat semata-mata berdasarkan nilai baik dan buruk,  dua hal ini dilihat dari konteks terjadinya perbuatan, bisa kita contohkan ada sebuah kasus atau sebuah perbuatan, bisa saja perbuatan ini benar di mata masyarakat umum atau benar berdasarkan konsep-konsep umum yang ada, namun pada kenyataannya saat dilakukan terlihat buruk atau bahkan dampaknya negative.
Teori deontology diatas diperkenalkan oleh imanuel kant pada tahun (1724-1804). Dalam  teorinya kan mengatakan hal yang baik dalam pengertian yang sesungguhnya adalah hal yang berasal dari kehendak yang baik. Sedangkan hal-hal seperti intelegensi, harta, jabatan dan lain sebagainya adalah sesuatu yang bersifat terbatas yang mana itu semua akan menjadi baik saat dia dimiliki dan dipakai oleh kehendak yang baik yang ada pada diri manusia.  Dalam teorinya juga kant menyimpulkan adanya otonomi kehendak, yang mana setiap kehendak memilikiatau mengisyaratkan adanya otonomi individu dalam melakukan sebuah perbuatan, yang sudah dipastikan setiap perbuatan tersebut didasarkan atas “kewajiban”. Kant mengatakan bahwa kewajiban ini sifatnya tidak subjektif kewajiban ini bersifat bebas atau imperative artinya sudah barang tentu dan sudah biasa manusia bebas melakukan sesuatu  asalkan kebebasan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kewajiban sehingga kebebasan yang dilakukan tersebut bisa dibenarkan secara moral.
Pengertian profesi

Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian seperti ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya.

Profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya. Biasanya sebutan “profesi” selalu dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang, akan tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi karena profesi menuntut keahlian para pemangkunya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, akan tetepi memerlukan suatu persiapan melelui pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan khusus untuk itu.

Pekerjaan tidak sama dengan profesi. Istilah yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam adalah sebuah profesi sudah pasti menjadi sebuah pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi sebuah profesi. Profesi memiliki mekanisme serta aturan yang harus dipenuhi sebagai suatu ketentuan, sedangkan kebalikannya, pekerjaan tidak memiliki aturan yang rumit seperti itu.

6.      Kode etik

Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai & juga aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar & baik & apa yang tidak benar & tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa saja yang benar / salah, perbuatan apa yang harus dilakukan & perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis ketika melakukan suatu kegiatan / suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan / tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Prinsip etika profesi

1.        Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.

2.        Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.

3.        Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.

4.        Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya.

Sumber:
1.       http://www.syariahnews.com/2015/07/ketahui-5-etika-bisnis-dalam-islam.html
2.       http://alamandausm.blogspot.co.id/2014/01/teori-egoisme_7.html
3.       http://www.kompasiana.com/saman/relativisme-dan pluralisme_5509af38813311f001b1e280
4.       https://rifaiarvinofajar.wordpress.com/2013/01/16/deontology-ethics/
5.       http://febriantismala.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-profesiprofesionaletikaetiket.html
6.       http://www.pengertianku.net/2015/02/pengertian-kode-etik-dan-tujuannya-lengkap.html

No comments:

Post a Comment